We Sell Our Free Lunch!


Hallo semua!
Sudah lama tak menulis, maklum…sedang mencoba meng-goal-kan judul skripsi dan beberapa presentasi kecil. Doakan saja masa-masa kritis ini selesai hehehe.
Oh iya….saya ingin membahas jurnal fisipol UGM yang kemaren saya baca…
Sebelum itu saya ucapkan terimakasih atas e-jurnal nya yang gratis..tis..tis!!
saya pembaca setia lo, walaupun cuma seorang mahasiswa yang 7tahun gak lulus-lulus wkwkwk…tapi ya itu..seperti prinsip saya, belajar dan membaca itu suka-suka dan kapan saja! Persetan dengan persepsi orang.
Lagian saya membaca bukan untuk cari Ijazah, terlebih Ilmu (7tahun melelahkan mimpi saya)
saya cuma PENASARAN!
Ndak kurang…dan gak lebih

Yak ! eng…ing..engggg! 

Kali ini saya punya Jurnal Fisipol vol 15 tahun 2011 No.1 yang judulnya :

MENUJU PELAYANAN SOSIAL YANG BERKEADILAN
By: Janianton Damanik (antondmk@yahoo.com)

Opppoooo iki?! Santai-santai..pelan-pelan beroooo..
Pelayanan sosial diartikan tindakan memproduksi, mengalokasi, mendistribusi sumberdaya sosial kepada publik. Pelayanan sosial diidentikkan dengan palayanan kesejahteraan sosial
Gampangnya,
Sekolah gratis – pelayanan sosial yang baik;
sekolah gratis tapi pengajarnya dibayar murah jadi males-malesan – pelayanan sosial yang kurang baik
Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) gratis – pelayanan sosial yang baik;
Jamkesmas gratis tapi masih “roaming” (ini maksudnya kalo gw terdaftar di jogja, ya di Jogja. Kalo sakit di Jakarta ya..kasian deh luu!) – pelayanan sosial yang kurang baik
Perumahan TNI gratis – pelayanan sosial yang baik
Perumahan TNI gratis selama hidup, kalo udah meninggal digusur – pelayanan sosial yang kurang baik
Nah kenapa pelayanan sosial yang menjamin terdistribusinya sumber daya sosial (kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dsb) dengan baik menjadi penting? Disini dijelaskan :
1.       Sumber daya sosial menjadi basis untuk mempertahankan status quo, dalam arti kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tidak begitu merosot
2.       Sumber daya sosial berfungsi memperbaiki situasi nyata, dalam arti meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi rakyat
3.       Sumber daya sosial berfungsi menyetarakan atau menyeimbangkan kehidupan ekonomi warga.

Wah, mulia sekali ya kalau kita bisa menciptakan pelayanan sosial dengan baik.
Repotnya nih ya….
Kalau ada pertanyaan “baik” itu menurut siapa? dan “bagus” itu berdasarkan apa?
Misal nih ya ada cerita:
Di negeri Kudanil, ada anak bernama solikhin. Solikhin ini genduttt! Subuuurr! Pokoknya gw banget dah…!
Solikhin berniat “….hari ini saya akan diet! Saya akan bermain bola seharian!....”
Kebetulan lapangannya gak jauh dari rumah Solikhin
Nah…..ibu solikhin liat tuh, solikhin keringetan main bola
“…capek banget kayaknya…”
Hari menjelang sore (emang kapan pagi nya ya?wkwk)….Solikhin yang capek  balik ke rumah mau mandi terus tidur. Harapannya “…turun 5kilo ini dah, tadi udah lari gaya ronaldinho…!”
Harapan tinggal harapan, begitu buka pintu…busyet!
Di meja makan ada nasi panas, ayam bakar lengkap dengan sambal dan lalapan, tidak lupa juga kerupuk merek ikan tengiri!
Dari dapur ibu nya teriak “Ayo dimakan! Udah ibu buatin…cape kan tadi maen bola nya?!”
Karena gak enak sama ibu nya, dan itu makanan sayang kalau gak dimakan
Cepat-cepat solikhin bilang dalam hati,
“DIET TERTUNDA SAMPAI BATAS WAKTU YANG TIDAK DITENTUKAN”


Nah dari cerita itu…coba kita bayangkan kalau Solikhin itu “masyarakat” dan Ibu nya Solikhin itu “pemerintah”, bisa kacau itu! Hahahha!
Makanya sekarang pelayanan sosial cenderung kearah empowerment. Dimana Ibu solikhin akan bertanya dulu sebelum membikin makanan, bertanya ke anak nya: “mau makan gak?”, “pakai apa?”, “sedikit atau banyak porsinya?”
Nah, ternyata tidak Cuma pemerintah loh yang bertanggung jawab terhadap bentuk-bentuk pelayanan sosial seperti ini, perusahaan juga! Sebagai tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat
Dan itu disebutkan CSR (Corporate Social Responsibilty) (Kuper, 2004:11)
CSR adalah komitmen korporat untuk mendorong pembangunan ekonomi secara berkelanjutan bekerja sama dengan karyawan, keluarganya, komunitas local dan masyarakat umum untuk memperbaiki mutu hidup dengan cara saling menguntungkan bagi bisnis korporat maupun untuk pembangunan itu sendiri (Ward, 2004:3)
Penangkapanku gini, untuk menjaga kelangsungan produksi sebuah perusahaan, mereka harus menjaga agar daya beli masyarakat minimal mampu membeli produk dari perusahaan tersebut. Salah satunya dengan meningkatkan pelayanan sosial.
Tapi, seperti kata Friedman seperempat abad yang lalu, “the business of business is business” (Suprapto dan Adiprigandari 2006:41; Achwan, 2006:85)
Khun said “CSR would not open the heart and minds of managers, nor add value to their business” (Managhan, et.al,2003:41)
Hmmm..sepertinya intinya, memang perusahaan mengejar pemasukan bukan mengejar pelayanan sosial.
Dan lebih jauh lagi nanti jurnalnya membahas filantropi keadilan Sosial yang menawarkan solusi terhadap beberapa permasalah-permasalahan pelayanan sosial
(bisa kita bahas lain waktu, karena saya juga belom terlalu paham..takut salah)

Nah menurut guwe nih ya (emang siapa gw ya?)
CSR ini dengan sendirinya kedepan akan menjadi prioritas perusahaan yang paling penting. Perusahaan akan berlomba-lomba untuk memperbaiki agenda CSR nya
Karena apa? Karena saya baca buku “bisnis” hermawan karta jaya – marketing in venus
Kalo benar yang dibuku itu terjadi, maka di dunia yang semakin emosional ini akan “memaksa” pelanggan memilih berdasarkan emosi ..bukan logika. Kalau logika di jurnal ini, CSR akan memperkecil keuntungan perusahaan maka buku “bisnis” sendiri berkata TIDAK! CSR adalah investasi!

Perusahaan The Body Shop contohnya, mengusung ideology “greenpeace” dengan menghabiskan dana yang tidak sedikit hanya sekedar iklan “greenpeace” yang sebenarnya ndak nyambung dengan produk yang dihasilkan. Kenapa mau? Entah persepsi orang tentang hubungan The Body Shop dan Greenpeace, tetapi yang jelas itu menguntungkan bagi the Body Shop, terbukti dengan the Body Shop masih eksis sebagai perusahaan multinasional yang sukses.
Orang membeli suatu produk tidak lagi dengan sebuah pilihan rasional, persaingan kualitas produk adalah nomer dua. Yang pertama adalah memberikan “warna” produk itu sendiri sehingga mendapatkan perhatian dari orang-orang.

kalau ada istilah "there is no free lunch" (Nursahid, 2006:116)
maka disini gue ada istilah "we sell our free lunch!" 







dokter, jangan suntik gw!

Menurutmu?
pasien : "Jadi penyakit saya gimana dok?"
dokter: "saya sarankan untuk diberikan tambahan vitamin C, bisa dengan disuntik atau dengan obat"
pasien: " ......(tebak!)...."

ya, karena kebanyakan dari kita (pasien) tidak begitu mengenal istilah-istilah medis dan penggunaannya,
ada 2 opsi:
1.  kita akan memilih disuntik (walaupun engga' suka) dengan kondisi dokter meyakinkan kita bahwa suntik    bisa "menyembuhkan dengan cepat" (benar engga' nya jangan tanya gw..)
2. kita akan memilih suntik dan obat (ini tipikal orang totalitas, gak mantab deh kalau gak dikombo!)

sangat jarang dari kita, jika disodorkan pilihan untuk di suntik....kita akan say "NO!"
karena kita yakin, suntik adalah salah satu "jalan medis" yang dapat "menyembuhkan" setidaknya "mengurangi rasa sakit" lahh....

lalu, pernah gak kita berpikir.....
"koq gw harus bilang "YES" terus ya kalau dokter nyuruh gw disuntik...kapan nih gw bilang "NO"?"

nah, baru-baru ini gw baca artikel yang judulnya (orang jawa jangan di baca, tar pusing) :

INTERACTIONAL GROUP DISCUSSION: RESULTS OF A
CONTROLLED TRIAL USING A BEHAVIORAL
INTERVENTION TO REDUCE THE USE OF
INJECTIONS IN PUBLIC HEALTH FACILITIES

gw cantumin copyright nya biar gak dikira "melacurkan" penelitian (semoga kagak salah soalnya gak jelas) ,:
Copyright  $1995 Elsevier Science Ltd.
Printed in Great Britain, all rights reserved
0277-953696$15.00-0.00

well, penelitian ini dilakukan oleh
JOHANA E. PRAWITASARI HADlYONO'· , SRI SURYAWATJ.!
SULANTO S. DANU.! SUNARTONO.) and BUDIOND SANTOSOz

' Faculty or Psychology. Gadjah Mada University. Bulak Sumur Yogyakarta 55281. Indonesia.
Department of Clinical Pharmacology, Faculty of Medicine. Gadjah Mada University, Sekip Yogyakarta
55281. I ndonesia and Medical Officer of the District Medical Office of Gunungkidul. Dinas Kesehatan
DATI II Gunungkidul. DIY. Indonesia

yang intinya nih ya......,
Injection atau disuntik atau di "tubless" sangat sering digunakan di Indonesia. Lebih dari 60% pasien ke rumah medis (jangan lu bayangin rumah sakit aja yaa...) setidaknya menerima satu suntikan yang mana suntikan itu sebenarnya mempunyai resiko medis dan "penambahan" biaya (mbayare nambah...!).

Penelitian ini bertujuan untuk menekan angka senang "disuntik" dan terpaksa "disuntik" menjadi jangan "disuntik"

karena disuntik itu seperti pedang bermata dua,
bisa cepat menyembuhkan dan bisa cepat memberikan efek samping
dan biasanya, pekerja medis gak mau ngejelasin efek sampingnya (mungkin mereka pikir kita ngerti)

diskusi ini ditemukan gejala lembar batu sembunyi "suntikan",
pasien nya ngomong kalau mereka mau disuntik karena terserah dokternya,
lha dokternya bilang kalau pasiennya yang memaksa dia untuk memberikan resep yang berupa suntikan

lucu nya nih, disini disebutkan...ada ibu' yang bilang gini:
"kalau saya belom disuntik itu belom marem (bhs jawa, indo=puas). Setelah diperiksa dokter saya manut dokter, kalau ditawari suntik ya saya mau. Kalau saya sendiri, setelah diperiksa saya ditawari suntik bu. Saya ya terus mau. Saya sendiri berharap untuk disuntik. tapi dokter tidak mau memberikan suntikan, mungkin karena saya lemah. Saya tidak puas"

gile, totalitas amat itu ibu nya, kalau belom disuntik belom "greeeng!"
yang perlu kita garis bawahi,
1. Setelah diperiksa dokter saya manut dokter, kalau ditawari suntik ya saya mau
2. Dokter tidak mau memberikan suntikan.....Saya tidak puas
(yang salah siapa nihhhh?? hahaha...)

kalau udah kaya gini, mungkin ibu itu dan kita harus baca dulu yang ini
.....Suntikan vitamin C untuk kecantikan hendaknya dilakukan secara berhati-hati. Sebab, bila keseringan atau salah penggunaan, bisa berakibat terhadap ginjal. Begitulah kata dokter Spesialis Penyalit Kulit dan Kelamin Sri Rubiati Sembiring. Ia berbicara pada seminar sehari Peningkatan Peran Masyarakat untuk Mencegah Efek Pelayanan Kesehatan di Balai Kartini Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (10/11)......(www.metrotvnews.com)

 ---------- SUNTIKAN HENDAKNYA DILAKUKAN SECARA BERHATI-HATI -------------------

jadi ya,
kalau dokter memberikan opsi "suntik",kita gunakan peribahasa malu bertanya sesat dijalan
tanya dulu manfaat dan efek sampingnya...seberapa pentingnya...dan bagaimana dengan kondisi pasien.
jangan asal YES dan OK aja

dan yang lebih penting lagi, kita tau jawaban pertanyaan di awal ulasan ini tadi

Pasien : "Jadi penyakit saya gimana dok?"
dokter: "saya sarankan untuk diberikan tambahan vitamin C, bisa dengan disuntik atau dengan obat"

Pasien: "APA ADA  ALTERNATIF LAIN SELAIN DISUNTIK ATAU DENGAN OBAT?"

kalau kita disuruh menjawab A atau B, 
maka pasti ada C dan D yang lebih baik daripada A atau B. 
cuma kita harus berpikir tenang dan berdoa




terkadang sulit,
realitas atau mimpi
hubungan kemauan dan tekad
dalam satu panggung kesedihan

kepada diri yang berganti
mampu untuk yakin?
dalam gerak percepatan ruang dan waktu
setitik air tak mampu memberi asa

angkuh tak jaminan
sombong apalagi
tinggi itu baik,
dan tidak lebih baik dari rendah
mungkin itu roda dan mungkin itu proses
pengaduknya, itu hanyalah obat

dan akhirnya, kita semua (bagi yang percaya)
tidak lebih bahagia dari foto senyum yang kita pasang di facebook 

19 April 2012



Cahaya

angin memanggilku mesra tadi malam,
lalu...ayam jantan bersautan seolah salah jadwal
ada apa?

....

saat fokus telah hilang, kemalasan mendera
tekanan datang tanpa diundang
dihentikan oleh waktu?
kurasa aku tak mampu
 aku ingin berdiri tegap, entah untuk melawan sang waktu itu sendiri

....

titik kulminasi terendah itu tidak buruk
dan momentum itu, seperti meriam yang meledak
 untuk saat ini, ingin ku menawar hidup dengan sepenuhnya hidup
walau harus dibayar dengan melawan waktu, kekosongan dan penyesalan

...

aku ingin hidup dengan sepenuhnya hidup, untuk kali ini saja! 



 19 April 2012

So Hok Gie dan Perubahan Sosial part I


“Revolusi adalah agama baru dan semboyan-semboyan manipol, sosialisme, demokrasi terpimpin, dan lain lain tidak lain lebih daripada doa-doa yang dikira mustajab”.
Sabtu 16 Maret 1964 – Catatan Seorang Demonstran

So Hok Gie, lahir pada 17 Desember 1942. Cendekiawan ini lahir dalam sejarah pemerintahan yang baru terlahir. Berbagai peristiwa politik ikut mewarnai pemerintahan yang baru terlahir ini. Dari pembentukan awal pemerintahan (18 Agustus 1945), Pembentukan PDRI – pemerintah darurat republik Indonesia akibat agresi militer belanda II ( 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949), Pembentukan RIS dan pembubarannya hingga kembali ke NKRI (17 Agustus 1950).
Tentu pergolakan politik pada tahun 1950an sangat mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir So Hok Gie tentang pemerintahan.
“Ya, karena mereka sendiri tidak mengerti persoalan-persoalan dan karena inilah mereka lumpuh dan tidak bisa melahirkan konsepsi baru bagi pembangunan. Dan ini juga adalah gejala umum dari seluruh kaum intelegensia Indonesia.”
Selasa, 19 Februari 1963 – Catatan Seorang Demonstran
Kita harus mengetahui perubahan politik apa saja yang terjadi pada tahun 1950an. Diantaranya diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem demokrasi liberal dengan parlementer. Hingga yang terjadi adalah peran partai politik yang sangat dominan dan mempengaruhi pemerintahan, dengan kata lain kepentingan partai lebih dominan daripada kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini berakibat pada sering terjadinya pergantian kabinet, akibat benturan kepentingan politik partai-partai di dalam pemerintahan.


Kabinet tersebut :
1.      Kabinet Natsir 6 September 1950 – 21 Maret 1951
2.      Kabinet Sukiman 27 April 1951 – 3 April 1952
3.      Kabinet Wilopo 3 April 1952 – 3 Juni 1953
4.      Kabinet Ali Sastroamidjojo I 31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
5.      Kabinet Burhanuddin Harahap 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956
6.      Kabinet Ali Sastroamidjojo II 20 Maret 1956 – 14 Maret 1957
7.      Kabinet Karya 9 April 1957 – 10 Juli 1959

Karena keadaan tidak kunjung membaik dan cenderung mengarah ke “chaos”, maka Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Situasi ini juga digambar oleh Soe Hok Gie dalam catatan hariannya,
“..Rupanya Ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai Nampak di Ibukota.”
Kamis 10 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran
“…pembukaan jurusan tadi sia-sia karena kemerdekaan pers tidak ada…”
Sabtu, 12 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran
“Baru baru ini, seorang OKD (Organisasi Keamanan Desa) memukul tukang beca. Kita kasihan pada OKD yang penakut itu. Mereka, untuk menutupi kekecilannya (Cuma OKD) berlagak seperti jendral. Sebenarnya mereka adalah seorang yang penakut. Orang yang berani karena bersenjata adala penakut” Sabtu, 12 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran

Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin yang dibentuk oleh Presiden Soekarno sekaligus menjadikan beliau sebagai PBR (Pemimpin Besar Revolusi). Dimana seluruh kekuasaan dan wewenang ada dalam diri Presiden Soekarno. Ini juga digambarkan oleh Soe Hok Gie,
“Jadi Soekarno mempunyai 3 aspek, gelar raja-raja Jawa juga sama dengan gelar politik (kawula ing tanah Jawi) tentara (senapati ing ngalaga) dan agama (Syekh Sahidin Ngabdulrachmad).Presiden Soekarno adalah lanjutan daripada raja-raja tanah Jawa. Karena itu dalam tindakan-tindakannya ia bersikap seperti raja-raja dahulu. Ia beristri banyak, mendirikan keraton-keraton, dan lain lain” halaman 156 – Catatan Seorang Demonstran
Bahkan pada masa ini, terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi :
1.      Pengangkatan presiden seumur hidup dan banyaknya jabatan yang rangkap
2.      Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955
3.      Konsep Pancasila berubah menjadi konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis)
4.      Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN pada tahun 1960.

“Pada tahun 1958 tamatlah kemerdekaan kita, kemerdekaan manusia. Memang sejak tahun 1958 yang menjajah Indonesia adalah bangsa sendiri, tetapi penjajahan itu identik dengan penghisapan manusia oleh manusia. Kenyataan dari revolusi kita amat tragis.”
“…tetapi sampai kini kita dapati adalah :a. Disintegrasi dalam hampir segala sisi b. Sikap acuh tak acuh dan akibat-akibatnya seperti korupsi, birokrasi, gejala-gejala ademokrasi, dll.”
Jum’at 24 Juli 1960 – Catatan Seorang Demonstran

Keadaan tidak kunjung membaik, rakyat masih berada jauh dibawah garis kemiskinan. Dan pemerintah menyembunyikan kemiskinan dengan regulasi-regulasi ketat tentang press, doktrinasi Manipol USDEK yang berhasil, dan pergulatan kepentingan politik antara PKI dan TNI semakin meruncing.
“Dalam Menganalisa situasi sekarang Ong berpendapat bahwa ada dua social forces yang nyata adalah militer dan PKI. Bila keduanya berkuasa maka itu merupakan jalan yang suram”
Senin, 31 Desember 1962 – Catatan Seorang Demonstran

“Aku matikan radio sebab RRI adalah pembohong besar..”
Sabtu, 9 Agustus 1960 – Catatan Seorang Demonstran


Permasalahan demi permasalahan dalam masa demokrasi terpimpin mulai muncul. Setidaknya telah muncul dua pemberontakan besar dalam sejarah Demokrasi Terpimpin. Yaitu PRRI (Pemerintahan Revoulusioner Rakyat Indonesia) / Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta). Pemberontakan ini muncul karena rasa tidak puas dari pemerintah daerah terhadap kepemimpinan pusat. Belum pemberontakan ini diredam, muncul konfrontasi dengan Malaysia yang mempolulerkan istilah “ganyang Malaysia”.
Konfrontrasi ini mempopulerkan juga Dwikora, Dwi Komando Rakyat. Beruntung konfrontasi ini dapat diselesaikan melalui jalur politik.
Kondisi sosial dan politik mengalami titik kritis, dimana Negara mencapai defisit 7.5 Milyar rupiah akibat penumpasan PRRI/Permesta dan konfrontasi dengan Malaysia serta perebutan kekuasaan dalam pemerintahan antara PKI dan TNI.
“Sekarang keadaan makin parah. Rupa-rupanya pergulatan antara militer dan PKI harus menuju kepada titik-titik penentuan. Apakah titik itu berupa class atau hanya di dalam, entahlah….”
“harga-harga makin membumbung, kaum kapitalis makin melahap memakan rakyat dan OKB mulai bertingkah. Kita sekarang memerlukan pabrik, jalan, pendidikan dan moral. Dan Soekarno memberikan istana, immoral, tugu-tugu yang tidak dapat dinikmati oleh rakyat. Kita semua kelaparan”
Senin 14 Januari 1963 – Catatan seorang Demonstran

Lalu puncak dari pertikaian TNI dan PKI meletus melalui gestapu (gerakan 30 September 1965). Peristiwa ini semakin menggeser perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Inflasi yang mencapai 400-650% pertahun membuat pemerintah melakukan kebijakan fiscal dan saneering, tepatnya pada tanggal 13 Desember  1965, Bank Indonesia pernah melakukan pemotongan uang dari Rp. 1000,00 menjadi hanya Rp. 1,00. Masyarakat tidak lagi mampu untuk hidup dalam kondisi seperti ini. Bahkan kebijakan ini menurut Soe Hok Gie lebih bermuatan politis daripada kepentingan rakyat.



“Mahasiswa sekarang sudah tidak tahan lagi untuk hidup karena harga-harga yang melambung setinggi langit. Dan mereka menafsirkan bahwa politik kenaikan harga dari pemerintah sekarang adalah usaha dari sementara menteri untuk mengalihkan perhatian rakyat dari focus pengganyangan Gestapu/PKI menjadi soal-soal kenaikan harga”
7 Januari 1966 – Catatan Seorang Demonstran

Hal inilah yang memicu “social uprising”, pemberontakan dari kalangan mahasiswa dimulai dari Long March Salemba – Rawangun. Pemberontakan ini mendapat tekanan oleh pemerintah, terutama pemberontakan dari kalangan mahasiswa. Bisa dikatakan, TNI membantu mahasiswa untuk menekan pemerintah yang dibantu oleh PKI. Melalui organisasi kampus CGMI – GMNI bentukan PKI, mahasiswa ditekan dari dalam kampus untuk dipecah belah. Terdapat dua kubu besar di kalangan mahasiswa waktu itu antara Pro Revolusi dan Pro Soekarno.
Tetapi karena desakan kepentingan ekonomi, kestabilan politik dan situasi keamanan dalam negeri akhirnya presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar yang mengawali runtuhnya demokrasi terpimpin dan munculnya demokrasi pancasila yang dipimpin oleh Soeharto.

Sabtu, 16 Maret 1964
"Revolusi adalah agama baru dan semboyan-semboyan manipol, sosialisme, demokrasi terpimpin, dan lainnya tidak lain lebih daripada doa-doa yang dikira mustajab." - Catatan Seorang Demonstran -

Pendidikan Eksklusif

Ada cerita menarik ketika aku diajak seorang teman untuk ke UII (Universitas Islam Indonesia), waktu itu ada momen ketika aku berada di lantai 3 sebuah gedung psikologi dan kedokteran.
Entah kenapa,
Tiba-tiba aku ingin melihat kebawah, dan pikirku "banyak mobil"
(walaupun menurutku tidak sebanyak dan semewah di Mall atau tempat hiburan lain, atau bahkan UGM itu sendiri)

Lalu ingin saja, aku berhitung ngawur,
seandainya 50 mobil di UII ini (karena aku yakin ada lebih banyak mobil di UII) dijual dengan harga @Rp 100jt/unit (ini hitungan relatif, karena ada mobil yang harga mencapai 300jt..tetapi kulihat ada yang dibawah 100). Tak terduga, kita akan mendapatkan 5 Milyar! bombastis!

aku mulai melihat gedung.depan dan kiri tempatku berpijak, kucoba mentaksirnya...tapi kuurungkan
karena aku betul-betul tidak tau harga "properti" dan malas untuk dikatakan sok tau
tetapi.....hmm...1 Milyar? 100 Milyar? ....entahlah...aku blank!

Ah, untuk lebih simpel nya...ak cap saja itu aku namakan "uang akademis" atau "uang milik akademis"
kenapa? simple....karena itu berada di "kerajaan" akademis universitas.

jadi ingat Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yg lahir pada tahun 1930
tentu aku tidak akan membicarakan tentang habitus, kapital, doxa, atau pendapat-pendapat lain (yang menurut aku sendiri sangat SUPER!) 
tapi aku terkesan untuk pertama kali ketika aku membaca karya nya mengenai kritik terhadap pendidikan

The educational system both offers a way for parvenus to acquire culture and a certificate to prove it, but Bourdieu’s research shows that “scholastic” culture can never quite duplicate the ease and depth of the cultural capital acquired by constant exposure at home. As the educational system is opened to wider and wider sections of the populace, a struggle goes on to redefine qualifications and jobs, and create new certificates, so as to restore the social order, or on the other hand, to open new doors to young graduates. At the same time, there is a constant struggle going on between rising class fractions and those in decline, between technocratic executives with degrees in business management and all kinds of cultural mediators redefining their own life-styles upwards, while shopkeepers and skilled tradespeople, for example, inexorably decline, and so forth. The autodidact meanwhile, Bourdieu says, enters a race which he has lost from the beginning.

kurang lebih begini,
seorang yang lahir dari kalangan pegawai negeri (middle - top class in Indonesia) akan mereproduksi anak yang pada akhirnya akan berada dalam middle - top economic class in Indonesia itu sendiri. Entah dia akan jadi pegawai negeri juga (mostly..) atau jadi pekerja apapun, tetapi masih dalam penghasilan middle - top economic class. 
Tentu ada yang bisa masuk ke low - class income, tetapi anak "well educated" mana sih yang "ikhlas" dia berada di low class income? jadi, masuk low class itu karena "kesalahan"  bukan "kemauan"

Jujur, orang tua ku pun mengarahkan aku ke pegawai negeri, karena kita dari "class" itu. Kalau kamu?

orang kaya, tentu pendidikan anaknya lebih baik dari pada orang kelas menengah
orang miskin, tentu pendidikan anaknya sangat suram dari pada kelas lain
dan itu terjadi di Indonesia!
gak percaya? lihat deh "harga" universitas di Indonesia
hmmm..kalau gak, lihat deh "harga" Sekolah Dasar Bergengsi seperti Budi Mulia, Muhammadiyah, Dll
dan bandingkan dengan "harga" SD lokal milih pemerintah.

jadi benar.... Bourdieu says, enters a race which he has lost from the beginning.
Indonesianya... Bourdieu ngomong kalau kita ini sedang memasuki perlombaan dimana kita telah kalah dari permulaan.

Jadi gak perlu sekolah dong? ya itu tar kita jadi tambah goblok hahhaha!
Yah....biarkan para ahli dan professor sosial yang menjawab dan menganalisanya
biarkan pada kalangan elit politik di DPR MPR yang memecahkan persoalaan ini
tar mereka marah lo, "menyerobot" kerjaan mereka....

dan ini pendapatku, just my opinion
ketika kita membangun pendidikan itu sendiri, yang telah menghabiskan ratusan dana pengeluaran untuk pembiayaan nya apakah sebanding?
ketika seorang sarjana mengeluarkan "kata-kata keilmuan" maut yang hanya dimengerti oleh kalangan sarjana yang sederajat dan tukang becak yang ikut nimbrung menjadi bertanya-tanya
ketika seorang professor mempunyai jadwal yang padat untuk seminar keilmuannya hingga dia lupa di wilayahnya ada kegiatan kerja bakti
ketika debat seminar pentingnya GAKIN terjadi di berbagai universitas dan 800meter dari tempat debat itu ada 1 bapak 1 istri dan 2 orang anak  yang bingung hari ini mau "makan" apa
damn!
aku benci keilmuwan dengan segala ke-eksklusivitas-nya!

jika,
pendidikan (formal) hanya menciptakan kelas intelektual
pendidikan (formal) hanya mereproduksi kelas middle - top income
pendidikan (formal) hanya menjatuhkan kelas low economic income
pendidikan (formal) .......

cukup kita bilang
beruntunglah kita, aku dan kamu......dan celakalah orang yang terlahir miskin
dan pasti ada dunia ketiga, dimana keadilan akan diperhitungkan dengan sebenar-benarnya hitungan






"Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas daripada dirimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.” (Tafsir AlQ urthubi)

kebudayaan Indonesia yang hilang

Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan kebudayaannya. Bagaimana tidak? Kurang lebih 742 bahasa daerah, 33 pakaian adat dan ratusan tarian adat tercatat dari Sabang sampai Merauke. Sudah selayaknya kita sebut “miniatur dunia”.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kebudayaan Indonesia konon berasal dari Peradaban Lemuria, peradaban yang besar setelah tenggelamnya peradaban yang juga kita kenal, Peradaban Atlantis. Konon Peradaban Lemuria itu bertempat lembah yang sekarang tenggelam di laut jawa. Peradaban Lemuria itu tenggelam ketika permukaan laut naik hampir 400 m seiring mencairnya es di kutub akibat perubahan iklim global. Sejarah ini, tidak begitu banyak dikenal oleh rakyat Indonesia mengingat pada tahun 1800an, Belanda mengangkut buku-buku dari Jawa sebanyak 5 kapal. Buku yang berisi tentang asal muasal kebudayaan Indonesia-pun hilang bersama buku-buku yang lain. Bisa dipahami juga bangsa Indonesia seperti bangsa yang kehilangan akar-nya.
Kebudayaan Indonesia yang begitu besarnya ini, sayangnya, tidak dijaga dengan baik dan benar oleh Rakyat Indonesia khususnya pemerintah. Berbagai macam kebudayaan dipatenkan oleh Negara tetangga. Satu contoh yang akan kita bahas adalah Reog ponorogo yang telah dipatenkan oleh Malaysia sebagai Tari Tradisional Malaysia dengan nama Tari Barongan.Itu dilakukan dengan hanya mengubah Pakem-pakem reog kecuali atribut-atributnya.
Mari kita bandingkan isi cerita dan sejarah Reog Ponorogo dengan Tari Barongan:
Menurut cerita kelahiran kesenian reog dimulai pada tahun saka 900. Dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin yang sedang mencari calon Permaisurinya. Bersama prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian baru terlebih dahulu sebelum dia menerima cinta sang Raja. Maka dari situlah terciptalah kesenian reog.
Bentuk reog pun sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang maknanya bahwa sang Raja (kepala harimau) sudah disetir atau sangat dipengaruhi oleh permaisurinya (burung merak). Tulisan Reog sendiri asalnya dari Reyog, yang huruf-hurufnya mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: rasa kidung/ingwang sukma adiluhung/Yang Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Penggantian Reyog menjadi Reog yang disebutkan untuk “kepentingan pembangunan”- saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog (Resik, Endah, Omber, Girang gemirang) tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo.
Barongan menggambarkan kisah-kisah di zaman Nabi Allah Sulaiman dengan binatang-binatang yang boleh bercakap. Kononnya, seekor harimau telah terlihat seekor burung merak yang sedang mengembangkan ekornya. Apabila terpandang harimau, merak pun melompat di atas kepala harimau dan keduanya terus menari. Tiba-tiba Pamong (Juru Iring) bernama Garong yang mengiringi Puteri Raja yang sedang menunggang kuda lalu di kawasan itu. Pamong lalu turun dari kudanya dan menari bersama-sama binatang tadi. Tarian ini terus diamalkan dan boleh dilihat di daerah Batu Pahat, Johor dan di negeri Selangor.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sejarah Tari Barongan itu ada di Malaysia ? Ada sebuah makalah tahun 1994 di Universiti Kebangsaan Malaysia yang judulnya “Perkembangan Seni Tari Barongan Sebagai Satu Permainan Tradisional Orang-orang Jawa di Batu Pahat, Johor.”
Dilihat dari makalah tersebut dapat dipastikan bahwa pelaku seni Tari Barongan di Malaysia adalah orang asli Jawa yang berdomisili di Johor. Ironisnya, pelaku-pelaku seni dari Jawa itu pindah ke negeri Johor karena mulai ditinggalkan pemirsanya di Jawa. Mereka menjadi warga negara sana, mengembangkan kesenian a la reog di sana, mengubah pakem-pakem reog kecuali atributnya dan memberinya dengan nama lain Tari Barongan… dan disambut baik!
Salahkah mereka? Salahkah Tari Barongan muncul di Malaysia? Secara pribadi : Tidak. Menurut saya, ini tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan dari Malaysia. Kalau kita coba menilik sejenak di Taman Mini Jakarta, mari kita lihat, berapa banyak penonton pribumi asli yang menonton Tari Reog Jawa Timur ini. Atau mungkin kita dapat bertanya kepada kita sendiri, kapan sih terakhir kita nonton reog? Setahun lalu? Sepuluh tahun lalu ? Tidak ada salahnya kita bertanya dalam hati, berapa besar apresiasi kita terhadap kebudayaan di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak pelaku seni, kaum terpelajar, kaum cendekiawan yang berasal dari Indonesia berkarya dengan sangat hebatnya di negeri tetangga. Tidak ada penghargaan di dalam negeri lah yang memacu mereka berkarya di negeri tetangga. Ada contoh kasus Spy Plane dari Malaysia
Cuma beberapa gelintir saja negara yang memiliki pesawat mata-mata tanpa awak (UAV). Amerika dan Israel jelas yang paling aktif memproduksi. Di Asia ada India, Pakistan, Jepang, Cina dan Korea yang punya program khusus untuk bikin spy plane semacam itu, walau masih bergantung pada perangkat-perangkat dari Israel. Indonesia akan membeli spy plane dari Israel. Dan Malaysia akan membuat sendiri spy plane tersebut.
Siapa otak di balik UAV bikinan Malaysia ini? Dr. Endri Rachman, seorang mantan engineer di IPTN yang hijrah ke Malaysia dan menjadi pengajar di Universiti Sains Malaysia. Dengan kata lain : orang Indonesia. Salahkah? Ya kalau di IPTN cuma digaji Rp 500 – 900 ribu, sementara pemerintah Malaysia mau mengucurkan 1 milyar untuk bikin prototipe UAV… Kita bener-bener punya sejarah yang buruk tentang bagaimana memperlakukan orang-orang pinter negeri ini. ( Watung Blog, 2 Desember 2007)
Mungkin sudah saatnya kita lebih menghargai kita sendiri. Mungkin pepatah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai diri nya sendiri” harus kita amati benar-benar. Penyesalan hanya akan datang di akhir episode, tapi harapan, jelas ada di setiap episode kehidupan.

Jangan lelah untuk berbicara Politik

Jangan lelah untuk berbicara politik, mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk kita renungkan. Pada masa sekarang, banyak sekali “janji-janji politik”, “iklan politik” serta tidak luput juga “kebijakan-kebijakan politik” yang seolah-olah menjadi kebijakan public yang mengatas namakan “pembelaan terhadap rakyat kecil” menjadi simpang siur, dan tidak jelas terutama di kalangan masyarakat “kecil” itu sendiri.
Sering sekali kita dengar pernyataan-pertanyaan kecewa dari masyarakat kecil yang terakumulasi menjadi ketidak percayaan akan kredibilitas pemerintah dalam memperbaiki kesejahteraan bangsa menjadi perbincangan yang sudah biasa bagi masyarakat itu sendiri. “Terlalu lelah menunggu”, coba kita amati baik-baik kata itu.
Lalu siapa yang pantas untuk disalahkan (dijadikan kambing hitam)? Pemerintah? Masyarakat? Atau bahkan system demokrasi itu sendiri?
Jika kita mempercayai bahwa ada yang salah dengan system demokrasi kita, atau bahkan system demokrasi-lah yang menyebabkan semua ini, maka kita perlu mencermati pendapat John Rawl, filsuf yang pada umumnya diakui sebagai “pembelaan yang paling rumit bagi demokrasi liberal modern”, di dalam buku klasiknya “A Theory Of Justice (1971)”. Disini, dia mengusulkan 2 prinsip yang pada dasarnya sebagai landasan teoritis:
1. each person is to have an equal right to most extensive basic liberity compatible with a similar liberity for others.
2. sosial and economic inequalities are to be arranged so that they are both reasonably expected to be everyone’s advantage, and attached to positions and offices open to all.
Prinsip-prinsip ini menjamin hak asasi yang setara dan peluang yang setara bagi semua warga negara. Termasuk di dalamnya, pemerintah harus menjamin adanya hak kehidupan dan kebebasan warga negara. Hak kebebasan termasuk didalamnya kebebasan politik di dalam lingkup memperoleh pengetahuan atas janji-janji politik, iklan politik, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengetahui secara pasti kebijakan-kebijakan politik yang nantinya semua itu akan menjadi kebijakan public untuk mengatur masyarakat itu sendiri.
Dari sini berarti seharusnya, ada kewajiban dari pemerintah untuk mensosialisasikan kebebasan yang berkaitan dengan politik kepada masyarakat. Sungguh sangat ironis, ketika masyarakat merasa “terlalu lelah menunggu” karena adanya akumulasi kekecewaan terhadap janji-janji “pembelaan terhadap rakyat kecil” malah dijadikan ajang atau kesempatan untuk dengan sengaja “membiaskan” kebijakan public itu sendiri. Kebijakan public yang pada dasarnya hanya berdasarkan kepada kepentingan-kepentingan golongan tertentu sengaja di”bias”kan menjadi kebijakan public yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Bisa kita bayangkan, masyarakat yang sudah “lelah” untuk membicarakan mengenai demokrasi dan politik malah dimanfaatkan golongan tertentu untuk sengaja mem”bias”kan kebijakan public untuk kepentingan pribadi golongan tersebut. Sering kita melihat dengan jelas kebijakan-kebijakan public dengan tidak disertai adanya alasan yang jelas maksud dan tujuan dari munculnya kebijakan-kebijakan public tersebut. Bahkan lebih parahnya, kebijakan-kebijakan itu sudah berlangsung lama tanpa kita mengetahui dengan jelas tujuan kebijakan itu di buat. Atau bahkan kita mengetahui kebijakan itu hanya sengaja di buat untuk menguntungkan golongan tertentu tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, diam dan menunggu dengan sedikit menyumpah atau bahkan mengutuk aktor yang berperan di dalam kebijakan tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proyek-proyek yang mengatas namakan “pembangunan untuk kesejahteraan” menjadi ajang untuk mengeruk keuntungan melalui kerja sama tender, Kerjasama pengolahan hasil pertambangan dengan Luar yang lagi-lagi hanya dijadikan ajang eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Indonesia oleh Luar, pemborosan besar-besaran yang dilakukan kalangan elit dengan embel-embel “studi banding”, dan masih banyak kebijakan-kebijakan public yang senjaga “dibiaskan” oleh golongan yang tidak bertanggung jawab demi kepuasan dan kepentingan pribadi.
Kondisi ini diperparah dengan keengganan masyarakat untuk mengkritisi kebijakan public atau politik dengan alasan “terlalu lelah menunggu” terlebih lagi asalan “lapar” menjadi alasan yang paling crusial di negara ini. Ini menandakan bahwa masyarakat sudah mengalami degradasi intelektual, yang ada hanyalah “roda setan” dimana “uang” dan “makan” adalah hal yang paling penting di dalam kehidupan atau lebih tepatnya egosentrisme masyarakat. Alasan itu pulalah yang memicu timbulnya kapitalisme politik, dimana “sumbangan” lebih penting dari pada “visi dan misi” calon elit kita. It’s all about money. Mari kita berimajinasi sejenak, bagaimana nasip bangsa kita 10tahun kedepan?
Indonesia harus bangkit, mau tidak mau, kita harus berubah. Tidak perlu kambing hitam dalam hal ini, kita hanya perlu merubah cara pandang kita sebagai masyarakat Indonesia. 1 hal yang tidak bisa dibeli oleh “money”, itu adalah hati. Hati kita tidak akan bisa berbohong bahkan untuk “uang” sekalipun. Mari kita mengubah Indonesia dari Hati. Mari kita berbicara demokrasi dan politik, jangan lelah ! Jangan lelah untuk memperbaiki nasip bangsa kita. Kalau kita lelah untuk berbicara politik, terus siapa lagi? Siapa lagi yang akan memikirkan nasip bangsa ini kecuali kita sendiri?
 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Burjo! |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.