Ada cerita menarik ketika aku diajak seorang teman untuk ke UII (Universitas Islam Indonesia), waktu itu ada momen ketika aku berada di lantai 3 sebuah gedung psikologi dan kedokteran.
Entah kenapa,
Tiba-tiba aku ingin melihat kebawah, dan pikirku "banyak mobil"
(walaupun menurutku tidak sebanyak dan semewah di Mall atau tempat hiburan lain, atau bahkan UGM itu sendiri)
seandainya 50 mobil di UII ini (karena aku yakin ada lebih banyak mobil di UII) dijual dengan harga @Rp 100jt/unit (ini hitungan relatif, karena ada mobil yang harga mencapai 300jt..tetapi kulihat ada yang dibawah 100). Tak terduga, kita akan mendapatkan 5 Milyar! bombastis!
aku mulai melihat gedung.depan dan kiri tempatku berpijak, kucoba mentaksirnya...tapi kuurungkan
karena aku betul-betul tidak tau harga "properti" dan malas untuk dikatakan sok tau
tetapi.....hmm...1 Milyar? 100 Milyar? ....entahlah...aku blank!
Ah, untuk lebih simpel nya...ak cap saja itu aku namakan "uang akademis" atau "uang milik akademis"
kenapa? simple....karena itu berada di "kerajaan" akademis universitas.
jadi ingat Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yg lahir pada tahun 1930
tentu aku tidak akan membicarakan tentang habitus, kapital, doxa, atau pendapat-pendapat lain (yang menurut aku sendiri sangat SUPER!)
tapi aku terkesan untuk pertama kali ketika aku membaca karya nya mengenai kritik terhadap pendidikan
The educational system both offers a way for parvenus to acquire culture
and a certificate to prove it, but Bourdieu’s research shows that
“scholastic” culture can never quite duplicate the ease and depth of the
cultural capital acquired by constant exposure at home. As the
educational system is opened to wider and wider sections of the
populace, a struggle goes on to redefine qualifications and jobs, and
create new certificates, so as to restore the social order, or on the
other hand, to open new doors to young graduates. At the same time,
there is a constant struggle going on between rising class fractions and those in decline,
between technocratic executives with degrees in business management and
all kinds of cultural mediators redefining their own life-styles
upwards, while shopkeepers and skilled tradespeople, for example,
inexorably decline, and so forth. The autodidact meanwhile, Bourdieu
says, enters a race which he has lost from the beginning.
kurang lebih begini,
seorang yang lahir dari kalangan pegawai negeri (middle - top class in Indonesia) akan mereproduksi anak yang pada akhirnya akan berada dalam middle - top economic class in Indonesia itu sendiri. Entah dia akan jadi pegawai negeri juga (mostly..) atau jadi pekerja apapun, tetapi masih dalam penghasilan middle - top economic class.
Tentu ada yang bisa masuk ke low - class income, tetapi anak "well educated" mana sih yang "ikhlas" dia berada di low class income? jadi, masuk low class itu karena "kesalahan" bukan "kemauan"
Jujur, orang tua ku pun mengarahkan aku ke pegawai negeri, karena kita dari "class" itu. Kalau kamu?
orang kaya, tentu pendidikan anaknya lebih baik dari pada orang kelas menengah
orang miskin, tentu pendidikan anaknya sangat suram dari pada kelas lain
dan itu terjadi di Indonesia!
gak percaya? lihat deh "harga" universitas di Indonesia
hmmm..kalau gak, lihat deh "harga" Sekolah Dasar Bergengsi seperti Budi Mulia, Muhammadiyah, Dll
dan bandingkan dengan "harga" SD lokal milih pemerintah.
jadi benar.... Bourdieu
says, enters a race which he has lost from the beginning.
Indonesianya... Bourdieu ngomong kalau kita ini sedang memasuki perlombaan dimana kita telah kalah dari permulaan.
Jadi gak perlu sekolah dong? ya itu tar kita jadi tambah goblok hahhaha!
Yah....biarkan para ahli dan professor sosial yang menjawab dan menganalisanya
biarkan pada kalangan elit politik di DPR MPR yang memecahkan persoalaan ini
tar mereka marah lo, "menyerobot" kerjaan mereka....
dan ini pendapatku, just my opinion
ketika kita membangun pendidikan itu sendiri, yang telah menghabiskan ratusan dana pengeluaran untuk pembiayaan nya apakah sebanding?
ketika seorang sarjana mengeluarkan "kata-kata keilmuan" maut yang hanya dimengerti oleh kalangan sarjana yang sederajat dan tukang becak yang ikut nimbrung menjadi bertanya-tanya
ketika seorang professor mempunyai jadwal yang padat untuk seminar keilmuannya hingga dia lupa di wilayahnya ada kegiatan kerja bakti
ketika debat seminar pentingnya GAKIN terjadi di berbagai universitas dan 800meter dari tempat debat itu ada 1 bapak 1 istri dan 2 orang anak yang bingung hari ini mau "makan" apa
damn!
aku benci keilmuwan dengan segala ke-eksklusivitas-nya!
jika,
pendidikan (formal) hanya menciptakan kelas intelektual
pendidikan (formal) hanya mereproduksi kelas middle - top income
pendidikan (formal) hanya menjatuhkan kelas low economic income
pendidikan (formal) .......
cukup kita bilang
beruntunglah kita, aku dan kamu......dan celakalah orang yang terlahir miskin
dan pasti ada dunia ketiga, dimana keadilan akan diperhitungkan dengan sebenar-benarnya hitungan
0 komentar:
Posting Komentar