Sebenarnya sudah beberapa hari yang
lalu aku pergi e Prambanan. Dan sampai hari ini masih terjadi perang, antara rasa
malas ku lebih menang dari passionku untuk menulis. Well, prambanan menyajikan
banyak cerita tentang masa lalu. Sama seperti waktu ketika aku ke Borobudur.
Cuma bedanya, Borobudur berbasic Buddha dan Prambanan berbasic Hindu.
Dinasti Syailendra mempunyai peranan
besar dalam pembangunan Borobudur, dan sebaliknya Dinasti Sanjaya adalah
pendiri Prambanan. Kedua nya dibangun secara bersamaan, hanya terpaut sekitar
10tahun setelah candi Borobudur selesai dibangun, candi Prambanan mulai
didirikan (sekitar tahun 860).
Banyak relief yang menarik disini,
beda tentunya antara Borobudur dan Prambanan tetapi keduanya hamper mempunyai
persamaan dalam tingkatan cerita. Entah, mungkin karena berakar dari kebudayaan
yang sama. Dua bangunan ini mempunyai tiga tingkatan,
1. Tingkatan bawah candi, dalam
Prambanan dinamakan Bhurloka sedangkan Borobudur lebih dikenal dengan Kamadhatu.
2. Tingkatan tengah candi, dalam
Prambanan dinamakan Bhuvarloka sedangkan Borobudur lebih dikenal dengan
Rupadhatu.
3. Tingkatan atas candi, dalam Prambanan
dinamakan Svarloka sedangkan Borobudur dinamakan Arupadhatu.
Dan menariknya lagi, cerita dari
masing-masing tingkatan mempunyai kemiripan. Seperti pada tingkatan bawah candi
keduanya menuliskan berbagai konsekuensi atas karma. Tentang kebaikan dan
kejahatan. Ditengah Prambanan menceritakan tentang cerita Ramayana dan
Borobudur menceritakan tentang perjalanan kedatangan Budha. Dibagian atas
keduanya menggambarkan keagungan baik Budha dalam stupa maupun Hindu dalam relief
wilayah para dewa.
Menarik bukan? Ternyata kedua candi
walaupun berbeda dari dinasti dan agama, tetapi budaya leluhur yang sama masih
tetap melekat.
Dan mungkin dari sekian banyak
penafsiran tentang kebudayaan, saya sendiri merasa bahwa peninggalan ke-dua
candi ini dapat bermakna sangat penting. Relief –relief ini mengingatkan bahwa
kita ini satu leluhur dalam satu bangsa. Sesulit apapun persatuan itu
diwujudkan, tetapi identitas itu tidak akan bisa dihilangkan. Sehitam atau
seputih apapun kulit kita, kita tetap Indonesia. Kita adalah satu Leluhur, dan
relief itu mengajarkan hal itu. Semenang-menangnya pendapat dan
sekalah-kalahnya pendapat, yang kita harus sadari adalah orang “luar” akan
memanggil kita “anak Indonesia”. Segala tingkah laku dan sikap akan tercermin
sebagai tingkah laku dan sikap bangsa Indonesia, walaupun terkadang kita tidak
mengakuinya atau lupa akan hal itu. Kebudayaan mengajarkan berbagai hal.
Sejarah kebudayaan adalah penting, walaupun masih tidak lebih popular dari ilmu
hitung-hitungan dan tidak secanggih robot.
0 komentar:
Posting Komentar