Kamar No 6 (1)




Apakah kamu percaya hantu? Atau kamu percaya roh? Dan apa kamu percaya takdir? Tentu saja kita, aku dan kamu cukup bodoh untuk mempercayainya karena itu tidak terlihat. Aku kata itu omong kosong para sesepuh dan nenek moyang di negeri manapun, untuk memberikan tingkat penekanan pada “hukum adat”. Katakanlah kita tidak boleh keluar sore hari karena ada gendruwo yang akan menculik kita, terlebih perempuan. Atau, kita tidak boleh menduduki batu nisan dikuburan…kabarnya…entah darimana datangnya….mereka, sesepuh itu bilang, akan menghantuimu semalaman. Mungkin kita sering dengar tempat angker, lawang sewu misalnya…ada kabar dari “mereka” (lagi-lagi “mereka?”) peserta uji nyali yang mati gara-gara setan disana. Omong kosong! Aku tidak mempercayainya! Aku tidak takut! Banyak hal yang lebih rasional untuk ditakutkan. Sebagai mahasiswa perantauan di Jogja, aku lebih takut uang bulananku yang pas-pasan ini tidak terkirim, aku lebih takut nilai kuliahku E, aku lebih takut gebetanku menjauh, atau apalah…banyak hal rasional yang lebih ditakutkan daripada hantu, roh terlebih takdir. Tapi bukan berarti aku tidak percaya Tuhan, tidak…aku percaya Tuhan, walaupun sebatas apa yang terlihat dan terhitung. Mungkin di zaman ini kita lebih menyukai cara pikir seperti ini : “buat apa sih mikirin kaya’ gituan…hidup aja udah susah?”. Tepat bung! Kita sependapat! Cari duit buat makan aja sulit, kenapa tentang mistik kita harus berpikir sulit sambil sembelit di parit? Tapi tidak bung! Pikiranku berubah sejak aku menemukan kamar kosong itu. Kamar kost kecil di lantai 2, dipojok dekat kamar mandi bersama yang sering copot kenopnya.
Apa? kamar itu angker? Tidak bung! Kamar itu cerah lengkap dengan sinar matahari yang datang kuat-kuat jam 9 pagi, maklum..kamar itu menghadap timur dan berlantai keramik. Pintu kayu yang menghadap berlawanan dengan jendela kayu kotak dan besar, lengkap dengan tempelan nomer kamar: 6….Sori bung! Aku agak merinding menuliskan nomer 6. Tentu kamu boleh percaya tau tidak. Kamar itu tidak bermasalah sama sekali kalau ku bilang, cat putih mulus dengan atap yang masih bagus, perfecto! Kamar idaman semua anak kost, karena saat bangun pagi, di jendela kita bisa melihat mahasiswi-mahasiswi antri mandi. Strategis bukan? Jendela yang menghadap tepat ke kamar mandi kost “putri” tetangga sebelah hehehe..!. Eits, tapi percayalah, kamu tidak akan terlalu suka melihat wajah mereka saat bangun pagi bung! Rambut acak-acakan, baju daster dan gayung lengkap dengan 7 macam sabun di dalamnya. 7 sabun bung! setelah kuamati benar, kupikir itulah alasan mahasiswi-mahasiswi itu mandinya lama sekali. Benar?
Well, sebelum kuawali cerita kamar itu. Singkat kukatakan aku Candra. Asli Klaten dan sudah 3tahun di Yogyakarta. Candra Aji, kata orang jawa candra artinya bulan dan ajiberasal dari kata aji-aji, artinya: kekuatan. Sejak kecil aku bermimpi punya kekuatan super, dengan nama itu tentunya, saat bulan purnama aku akan berubah menjadi semacam serigala kuat dan besar. Menghajar setiap preman di jalanan dan membuangnya ke laut agar dimakan ikan hiu. Tentu waktu kecil aku berpikir akan ada wanita cantik yang akan terpesona dengan kemampuanku, dan dia jatuh cinta padaku lalu singkat cerita kami menikah. Tertawalah bung! tertawa saja sepuasnya. Memang mimpiku waktu kecil itu lucu, tapi tidak sepenuhnya salah. Malam purnama di kamar itu memang aneh. Aku…nanti, kuceritakan dulu kisahku.
Bapakku hanya petani di Klaten, Ibuku guru sekolah dasar di Delanggu. Sebetulnya aku tidak mau merantau ke Yogya untuk kuliah, buat apa? Aku lebih ingin membuka toko sembako sendiri di rumah, tentu dengan modal uang biaya kuliahku. Itu lebih realistis menurutku, karena menurutku semakin tinggi gelarku..semakin susahku dapat pekerjaan. Tidak percaya? Baiklah, kuceritakan pengalamanku. Waktu itu aku masih SMK di Klaten, kami biasa nongkrong di warung Bu Titin depan SMK. Datang Ucil, tetanggaku yang telah selesai menyelesaikan kuliahnya di Yogya. Dia menawarkan “roti” untuk dititipkan di warung itu, dan kamu tau kata Bu’ Titin? Dia bilang “Owalah Cil, sarjana UGM kok dodolan roti”. Sebulan kemudian usaha Ucil itu tutup, selidik-punya selidik Ucil ternyata malu. Yang salah Ucil? Tidak bung! yang salah cara pandang kita tentang gelar sarjana. Bung percaya Tuhan? Saya percaya semakin kita bekerja keras, rejeki kita pasti lebih banyak. Dan rejeki Tuhan tidak ada hubungannya dengan gelar kesarjanaan, betul? Sejak itulah aku berharap untuk sekedar lulus SMA saja, dan berniat membuka toko sembako. Tapi niat tinggal niat, orang tua mengirimku ke Yogyakarta untuk kuliah. Padahal aku tau betul kuliah itu tidak murah, dan orang tuaku jungkir balik mencukupi kehidupanku disini. Aku, sebagai orang jawa dengan segala aturan adatnya, akan selalu bilang “nggih”. Dan mulailah aku hidup di jogja sebagai mahasiswa perantauan, seperti kebanyakan mahasiswa lainnya.
3 tahun pun bergerak cepat, aku mendekati tahun akhirku kuliah di sini. Satu-satunya yang kupikirkan adalah “skripsi” ku selesai, kemudian pulang ke Klaten. Tentu niatku membuka toko masih ada, tapi aku harus mengumpulkan modal dulu dengan bekerja kantoran. Dan PNS adalah satu-satunya harapan bagi aku dan mungkin sarjana-sarjanalainnya. Skripsi memotivasiku untuk pergi menjauh dari teman-teman kostku, aku pindah. Mencari tempat yang lebih tenang dan sepi agar ku bisa berpikir dengan lebih tenang. Dan disitulah aku bertemu kamar no 6 dengan segala keanehannya. Dan petualanganku baru akan dimulai, siapkan kopi dan sedikit camilan bung! dan biarkan aku menceritakan kisahku dan kamar no 6 ini.
9 Februari 2012
Aku dan Irman, sahabatku berlari kencang. Kita dikejar para banci di perempatan jetis. “Asulah..motormu ki parah tenan man, ndadak mogok barang di perempatan, wis jam 12 meneh!”.
La ….mbuh …..Can, wingi …bar… tak servis neng AHAS…”, Irman kehabisan napas barlari sambil mendorong kendaraannya menjauh dari perempatan itu. “pie iki? Nyerah ae po?”
slompret….nyerah gundulmu, mlayu man! Kabooor! Wegah aku di grepe-grepe (diraba-raba banci)”, aku berlari lebih kencang dari sebelumnya. Terdengar dari belakangku “Caaaan! enteni su! Sandalku copot 1 heleeep! ” Aku cuek dan tetap berlari, sambil nyengir.
Malam itu lebih panas dari sebelumnya, kami keluar masuk gang sempit. Hening dan sepi. “aman can!” Irman mendorong motor dengan sandal sebelah dan napas terangah-engah “iki ndek daerah endi sih? Peteng tenan!”. Aku melihat ke kiri dan ke kanan, memang sepi dan gelap. Sejauh mata memandang hanya ada kegelapan. Jalan ini memang sempit, hanya cukup dilewati oleh 2 manusia yang berjalan bergandengan. Selebihnya, kamu harus mengantri jika mau lewat jalan ini. Konblok yang tak sempurna mewarnai jalan ini, dan rumah kecil sempit pengap berderet sejajar mata memandang. Ada tulisan bernada larangan di atas, terikat antara rumah satu dengan rumah lain yang berseberangan tepat di pertigaan gang sempit ini. “dilarang masuk”. Kenapa dilarang? Pikirku sesudahnya. “Uwis can…balik wae yok, horror ki…” Kata Irman terbata-bata. Aku terdiam, mengamati keadaan dan berjalan pelan kearah tulisan itu. Seperti magnet, aku tertarik melihat isi dalam nya. “Can…!” Irman menggeret lenganku untuk menjauh, “malam jum’at iki can…ayo mlayu can..”. Aku masih mematung, memandang gang sempit itu.



“Brakkkkkkk……………………………….!”
Dari ujung yang gelap itu terdengar suara keras, seperti lemari yang dilemparkan dari atas lantai 2 dan jatuh remuk ke bawah. Reflex aku berlari menjauh dengan kencang, berlari sekuat tenaga. Tepat 2 menit aku berlari ke gang sempit lain, aku sadar. Ican tertinggal. “bocah gemblung! Malah ora mlayu!”. Dengan berat hati aku berbalik arah kembali ke gang sempit tadi, “deg-deg-deg” jantungku masih berdebar kencang. Entah karena kecapekan berlari atau takut,…. keduanya mungkin. Dari kejauhan terlihat Ican terduduk lemas di samping motor bututnya, wajahnya terlihat kosong dan shock. Ternyata setelah ku mencoba lebih dekat, ada bayangan gelap dan besar dibelakangnya. “deg”, napasku berhenti sebentar. Lututku lemas dan tanganku sudah memaksaku berlari kebelakang. Bulu kudukku semua berdiri, mulutku terkunci kontras dengan keinginanku untuk berteriak. Bayangan itu mengamatiku, memandangku lurus tak berkedip. Sejenak dia meninggalkan Irman disana, mendekatiku dengan tidak bersuara. Aku tak bergerak, hanya indra pendengaran yang masih berfungsi normal. Aku mendengar suara napasku sendiri, nafas orang ketakutan dan tidak bergerak. Bayangan itu sudah terlalu dekat, aku ingin berlari! Ingin berlari! Ayolahhh…lari! Aku katakan pada kakiku saat itu juga. Bayangan tanpa suara itu terlihat lebih besar sekarang, dan dia…

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Burjo! |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.