Efek Domino Resesi Global

Krisis Perekonomian di Amerika Serikat terjadi karena ada perubahan paradigma ekonomi, dari kapitalisme produktif menjadi kapitalisme spekulatif. Perubahan inilah yang pada akhirnya menggelembung (bubble) dan memicu terjadinya ledakan di dalam perekonomian. Resesi ini dimulai dari adanya kasus kredit macet (subprime mortgage) yang menghantam dunia perbankan Amerika Serikat yang berdampak pada ambruknya pasar modal dan menurunnya indeks saham di New York Stock Exchange (NYSE).
Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan, yang hasilnya Irak tidak juga aman dan Osama bin Laden belum juga tertanggap, setelah membiayai perang Korea dan Vietnam ikut memicu defisit keuangan Amerika Serikat serta berimbas pada naiknya harga minyak dunia (105$/barel) semakin memperparah keadaan perekonomian Amerika Serikat.
Runtuhnya lembaga keuangan Lehmans Brothers dan beberapa lembaga keuangan besar lainnya serta jatuhnya perekonomian Amerika Serikat dapat dipastikan akan berdampak kepada perekonomian di Negara-negara lain (efek domino). Menurut IMF, sekitar 1% penurunan pertumbuhan ekonomi di AS akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di Asia sebesar 0,5%-1%. Dapat dipastikan, Indonesia juga akan terkena efek dari Resesi Global tersebut.
Terjadi kepanikan di pasar modal Indonesia sehingga harga saham terjun bebas tidak dapat lagi di cegah, mengingat mayoritas pelaku pasar modal adalah investor asing (60-70%) otomatis mereka akan menarik dananya akibat dari efek domino tersebut. Resesi Global ini juga tidak kalah mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia dari sisi ekspor mapun impor. Sektor yang paling terbebani adalah neraca pembayaran ekspor Indonesia, mengingat Pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah sekitar 12% dari total ekspor Indonesia. Sebenarnya pelemahan ekspor ke Amerika Serikat sudah berlangsung sejak awal 2007, saat pertumbuhan ekspor hanya sekitar 5% dibandingkan pertumbuhan ekspor ke negara-negara lain sebesar 20%. Dengan adanya Resesi Global ini, diperkirakan ekspor ke Amerika Serikat akan semakin melemah dari tahun sebelumnya.
Berbagai kebijakan dikeluarkan Pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut. Seperti menaikkan BI rate, yaitu menjalankan kebijakan uang ketat yang ditandai oleh kenaikan suku bunga dan semakin ketatnya likuiditas. Dan pada waktu yang bersamaan, guna menutupi defisit anggaran, pemerintah menjual surat utang negara (SUN) maupun obligasi ritel (ORI).
Pembelian kembali saham-saham BUMN juga aktif dilakukan oleh pemerintah untuk meyakinkan kembali investor-investor yang terlibat di dalam pasar modal. Pembelian ini dinilai cukup efektif mengingat pasar modal kembali menunjukkan kenaikan pada hari senin, 13 Oktober 2008.
Yang perlu menjadi konsen pemerintah dalam “buy back” ini adalah seberapa besar pengawasan pemerintah di dalam mengawasi proses pembelian tersebut. Masih segar di dalam ingatan kita dimana kurangnya pengawasan pemerintah di dalam BLBI (bantuan likuiditas bank Indonesia) yang menimbulkan “penyakit” lama bangsa kita kembali kambuh : korupsi. Tentu ini harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, mengingat bangsa kita memiliki sejarah panjang di dalam proses penanganan korupsi baik yang selesai ataupun “mengambang”. Pembelian kembali saham-saham ini haruslah di seleksi secara ketat agar tidak “kecolongan” untuk ke-2 kalinya.
Sungguh sangat ironis apabila kebijakan “buy back” yang bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan pasar akan berganti menjadi lahan mengeruk keuntungan bagi sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di lain pihak, Bank Dunia sanggup memberikan pinjaman siaga sebanyak US $5miliar kepada Indonesia untuk memulihkan perekonomian akibat dari resesi global. Yang menjadi pertanyaannya selanjutnya adalah, perlukah kita berhutang? Sanggupkah kita membayar hutang tersebut? Tidakkah kita sudah terbebani dengan hutang-hutang yang menumpuk? Pertanyaan-pertanyaan itu harus kita tanyakan dalam hati kita, terlebih dari “beranikah kita untuk tidak berhutang?”. Tentu kita tidak ingin, anak-anak kita, cucu-cucu kita kita warisi hutang-hutang itu kan?
Mungkin bung Karno benar, kita harus mampu berdiri dengan kaki kita sendiri. Tidak bolehlah kita takut dan bergantung oleh Negara lain, kita sejatinya adalah bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang dikaruniai kekayaan alam yang sangat luar biasa besarnya. Kita harus berpedoman “mengapa kita harus takut?” Bangsa kita harus mencoba bangkit, terutama didalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan domestik. Tidak tergantung dengan bangsa lain dan tidak takut dengan bangsa lain. Kita juga harus mampu menguatkan fondasi perekonomian domestik agar kelak resesi global tidak berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Burjo! |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.