So Hok Gie dan Perubahan Sosial part I


“Revolusi adalah agama baru dan semboyan-semboyan manipol, sosialisme, demokrasi terpimpin, dan lain lain tidak lain lebih daripada doa-doa yang dikira mustajab”.
Sabtu 16 Maret 1964 – Catatan Seorang Demonstran

So Hok Gie, lahir pada 17 Desember 1942. Cendekiawan ini lahir dalam sejarah pemerintahan yang baru terlahir. Berbagai peristiwa politik ikut mewarnai pemerintahan yang baru terlahir ini. Dari pembentukan awal pemerintahan (18 Agustus 1945), Pembentukan PDRI – pemerintah darurat republik Indonesia akibat agresi militer belanda II ( 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949), Pembentukan RIS dan pembubarannya hingga kembali ke NKRI (17 Agustus 1950).
Tentu pergolakan politik pada tahun 1950an sangat mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir So Hok Gie tentang pemerintahan.
“Ya, karena mereka sendiri tidak mengerti persoalan-persoalan dan karena inilah mereka lumpuh dan tidak bisa melahirkan konsepsi baru bagi pembangunan. Dan ini juga adalah gejala umum dari seluruh kaum intelegensia Indonesia.”
Selasa, 19 Februari 1963 – Catatan Seorang Demonstran
Kita harus mengetahui perubahan politik apa saja yang terjadi pada tahun 1950an. Diantaranya diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem demokrasi liberal dengan parlementer. Hingga yang terjadi adalah peran partai politik yang sangat dominan dan mempengaruhi pemerintahan, dengan kata lain kepentingan partai lebih dominan daripada kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini berakibat pada sering terjadinya pergantian kabinet, akibat benturan kepentingan politik partai-partai di dalam pemerintahan.


Kabinet tersebut :
1.      Kabinet Natsir 6 September 1950 – 21 Maret 1951
2.      Kabinet Sukiman 27 April 1951 – 3 April 1952
3.      Kabinet Wilopo 3 April 1952 – 3 Juni 1953
4.      Kabinet Ali Sastroamidjojo I 31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
5.      Kabinet Burhanuddin Harahap 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956
6.      Kabinet Ali Sastroamidjojo II 20 Maret 1956 – 14 Maret 1957
7.      Kabinet Karya 9 April 1957 – 10 Juli 1959

Karena keadaan tidak kunjung membaik dan cenderung mengarah ke “chaos”, maka Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Situasi ini juga digambar oleh Soe Hok Gie dalam catatan hariannya,
“..Rupanya Ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai Nampak di Ibukota.”
Kamis 10 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran
“…pembukaan jurusan tadi sia-sia karena kemerdekaan pers tidak ada…”
Sabtu, 12 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran
“Baru baru ini, seorang OKD (Organisasi Keamanan Desa) memukul tukang beca. Kita kasihan pada OKD yang penakut itu. Mereka, untuk menutupi kekecilannya (Cuma OKD) berlagak seperti jendral. Sebenarnya mereka adalah seorang yang penakut. Orang yang berani karena bersenjata adala penakut” Sabtu, 12 Desember 1959 – Catatan Seorang Demonstran

Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin yang dibentuk oleh Presiden Soekarno sekaligus menjadikan beliau sebagai PBR (Pemimpin Besar Revolusi). Dimana seluruh kekuasaan dan wewenang ada dalam diri Presiden Soekarno. Ini juga digambarkan oleh Soe Hok Gie,
“Jadi Soekarno mempunyai 3 aspek, gelar raja-raja Jawa juga sama dengan gelar politik (kawula ing tanah Jawi) tentara (senapati ing ngalaga) dan agama (Syekh Sahidin Ngabdulrachmad).Presiden Soekarno adalah lanjutan daripada raja-raja tanah Jawa. Karena itu dalam tindakan-tindakannya ia bersikap seperti raja-raja dahulu. Ia beristri banyak, mendirikan keraton-keraton, dan lain lain” halaman 156 – Catatan Seorang Demonstran
Bahkan pada masa ini, terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi :
1.      Pengangkatan presiden seumur hidup dan banyaknya jabatan yang rangkap
2.      Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955
3.      Konsep Pancasila berubah menjadi konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis)
4.      Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN pada tahun 1960.

“Pada tahun 1958 tamatlah kemerdekaan kita, kemerdekaan manusia. Memang sejak tahun 1958 yang menjajah Indonesia adalah bangsa sendiri, tetapi penjajahan itu identik dengan penghisapan manusia oleh manusia. Kenyataan dari revolusi kita amat tragis.”
“…tetapi sampai kini kita dapati adalah :a. Disintegrasi dalam hampir segala sisi b. Sikap acuh tak acuh dan akibat-akibatnya seperti korupsi, birokrasi, gejala-gejala ademokrasi, dll.”
Jum’at 24 Juli 1960 – Catatan Seorang Demonstran

Keadaan tidak kunjung membaik, rakyat masih berada jauh dibawah garis kemiskinan. Dan pemerintah menyembunyikan kemiskinan dengan regulasi-regulasi ketat tentang press, doktrinasi Manipol USDEK yang berhasil, dan pergulatan kepentingan politik antara PKI dan TNI semakin meruncing.
“Dalam Menganalisa situasi sekarang Ong berpendapat bahwa ada dua social forces yang nyata adalah militer dan PKI. Bila keduanya berkuasa maka itu merupakan jalan yang suram”
Senin, 31 Desember 1962 – Catatan Seorang Demonstran

“Aku matikan radio sebab RRI adalah pembohong besar..”
Sabtu, 9 Agustus 1960 – Catatan Seorang Demonstran


Permasalahan demi permasalahan dalam masa demokrasi terpimpin mulai muncul. Setidaknya telah muncul dua pemberontakan besar dalam sejarah Demokrasi Terpimpin. Yaitu PRRI (Pemerintahan Revoulusioner Rakyat Indonesia) / Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta). Pemberontakan ini muncul karena rasa tidak puas dari pemerintah daerah terhadap kepemimpinan pusat. Belum pemberontakan ini diredam, muncul konfrontasi dengan Malaysia yang mempolulerkan istilah “ganyang Malaysia”.
Konfrontrasi ini mempopulerkan juga Dwikora, Dwi Komando Rakyat. Beruntung konfrontasi ini dapat diselesaikan melalui jalur politik.
Kondisi sosial dan politik mengalami titik kritis, dimana Negara mencapai defisit 7.5 Milyar rupiah akibat penumpasan PRRI/Permesta dan konfrontasi dengan Malaysia serta perebutan kekuasaan dalam pemerintahan antara PKI dan TNI.
“Sekarang keadaan makin parah. Rupa-rupanya pergulatan antara militer dan PKI harus menuju kepada titik-titik penentuan. Apakah titik itu berupa class atau hanya di dalam, entahlah….”
“harga-harga makin membumbung, kaum kapitalis makin melahap memakan rakyat dan OKB mulai bertingkah. Kita sekarang memerlukan pabrik, jalan, pendidikan dan moral. Dan Soekarno memberikan istana, immoral, tugu-tugu yang tidak dapat dinikmati oleh rakyat. Kita semua kelaparan”
Senin 14 Januari 1963 – Catatan seorang Demonstran

Lalu puncak dari pertikaian TNI dan PKI meletus melalui gestapu (gerakan 30 September 1965). Peristiwa ini semakin menggeser perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Inflasi yang mencapai 400-650% pertahun membuat pemerintah melakukan kebijakan fiscal dan saneering, tepatnya pada tanggal 13 Desember  1965, Bank Indonesia pernah melakukan pemotongan uang dari Rp. 1000,00 menjadi hanya Rp. 1,00. Masyarakat tidak lagi mampu untuk hidup dalam kondisi seperti ini. Bahkan kebijakan ini menurut Soe Hok Gie lebih bermuatan politis daripada kepentingan rakyat.



“Mahasiswa sekarang sudah tidak tahan lagi untuk hidup karena harga-harga yang melambung setinggi langit. Dan mereka menafsirkan bahwa politik kenaikan harga dari pemerintah sekarang adalah usaha dari sementara menteri untuk mengalihkan perhatian rakyat dari focus pengganyangan Gestapu/PKI menjadi soal-soal kenaikan harga”
7 Januari 1966 – Catatan Seorang Demonstran

Hal inilah yang memicu “social uprising”, pemberontakan dari kalangan mahasiswa dimulai dari Long March Salemba – Rawangun. Pemberontakan ini mendapat tekanan oleh pemerintah, terutama pemberontakan dari kalangan mahasiswa. Bisa dikatakan, TNI membantu mahasiswa untuk menekan pemerintah yang dibantu oleh PKI. Melalui organisasi kampus CGMI – GMNI bentukan PKI, mahasiswa ditekan dari dalam kampus untuk dipecah belah. Terdapat dua kubu besar di kalangan mahasiswa waktu itu antara Pro Revolusi dan Pro Soekarno.
Tetapi karena desakan kepentingan ekonomi, kestabilan politik dan situasi keamanan dalam negeri akhirnya presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar yang mengawali runtuhnya demokrasi terpimpin dan munculnya demokrasi pancasila yang dipimpin oleh Soeharto.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Burjo! |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.