Jangan lelah untuk berbicara Politik

Jangan lelah untuk berbicara politik, mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk kita renungkan. Pada masa sekarang, banyak sekali “janji-janji politik”, “iklan politik” serta tidak luput juga “kebijakan-kebijakan politik” yang seolah-olah menjadi kebijakan public yang mengatas namakan “pembelaan terhadap rakyat kecil” menjadi simpang siur, dan tidak jelas terutama di kalangan masyarakat “kecil” itu sendiri.
Sering sekali kita dengar pernyataan-pertanyaan kecewa dari masyarakat kecil yang terakumulasi menjadi ketidak percayaan akan kredibilitas pemerintah dalam memperbaiki kesejahteraan bangsa menjadi perbincangan yang sudah biasa bagi masyarakat itu sendiri. “Terlalu lelah menunggu”, coba kita amati baik-baik kata itu.
Lalu siapa yang pantas untuk disalahkan (dijadikan kambing hitam)? Pemerintah? Masyarakat? Atau bahkan system demokrasi itu sendiri?
Jika kita mempercayai bahwa ada yang salah dengan system demokrasi kita, atau bahkan system demokrasi-lah yang menyebabkan semua ini, maka kita perlu mencermati pendapat John Rawl, filsuf yang pada umumnya diakui sebagai “pembelaan yang paling rumit bagi demokrasi liberal modern”, di dalam buku klasiknya “A Theory Of Justice (1971)”. Disini, dia mengusulkan 2 prinsip yang pada dasarnya sebagai landasan teoritis:
1. each person is to have an equal right to most extensive basic liberity compatible with a similar liberity for others.
2. sosial and economic inequalities are to be arranged so that they are both reasonably expected to be everyone’s advantage, and attached to positions and offices open to all.
Prinsip-prinsip ini menjamin hak asasi yang setara dan peluang yang setara bagi semua warga negara. Termasuk di dalamnya, pemerintah harus menjamin adanya hak kehidupan dan kebebasan warga negara. Hak kebebasan termasuk didalamnya kebebasan politik di dalam lingkup memperoleh pengetahuan atas janji-janji politik, iklan politik, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengetahui secara pasti kebijakan-kebijakan politik yang nantinya semua itu akan menjadi kebijakan public untuk mengatur masyarakat itu sendiri.
Dari sini berarti seharusnya, ada kewajiban dari pemerintah untuk mensosialisasikan kebebasan yang berkaitan dengan politik kepada masyarakat. Sungguh sangat ironis, ketika masyarakat merasa “terlalu lelah menunggu” karena adanya akumulasi kekecewaan terhadap janji-janji “pembelaan terhadap rakyat kecil” malah dijadikan ajang atau kesempatan untuk dengan sengaja “membiaskan” kebijakan public itu sendiri. Kebijakan public yang pada dasarnya hanya berdasarkan kepada kepentingan-kepentingan golongan tertentu sengaja di”bias”kan menjadi kebijakan public yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Bisa kita bayangkan, masyarakat yang sudah “lelah” untuk membicarakan mengenai demokrasi dan politik malah dimanfaatkan golongan tertentu untuk sengaja mem”bias”kan kebijakan public untuk kepentingan pribadi golongan tersebut. Sering kita melihat dengan jelas kebijakan-kebijakan public dengan tidak disertai adanya alasan yang jelas maksud dan tujuan dari munculnya kebijakan-kebijakan public tersebut. Bahkan lebih parahnya, kebijakan-kebijakan itu sudah berlangsung lama tanpa kita mengetahui dengan jelas tujuan kebijakan itu di buat. Atau bahkan kita mengetahui kebijakan itu hanya sengaja di buat untuk menguntungkan golongan tertentu tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, diam dan menunggu dengan sedikit menyumpah atau bahkan mengutuk aktor yang berperan di dalam kebijakan tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proyek-proyek yang mengatas namakan “pembangunan untuk kesejahteraan” menjadi ajang untuk mengeruk keuntungan melalui kerja sama tender, Kerjasama pengolahan hasil pertambangan dengan Luar yang lagi-lagi hanya dijadikan ajang eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Indonesia oleh Luar, pemborosan besar-besaran yang dilakukan kalangan elit dengan embel-embel “studi banding”, dan masih banyak kebijakan-kebijakan public yang senjaga “dibiaskan” oleh golongan yang tidak bertanggung jawab demi kepuasan dan kepentingan pribadi.
Kondisi ini diperparah dengan keengganan masyarakat untuk mengkritisi kebijakan public atau politik dengan alasan “terlalu lelah menunggu” terlebih lagi asalan “lapar” menjadi alasan yang paling crusial di negara ini. Ini menandakan bahwa masyarakat sudah mengalami degradasi intelektual, yang ada hanyalah “roda setan” dimana “uang” dan “makan” adalah hal yang paling penting di dalam kehidupan atau lebih tepatnya egosentrisme masyarakat. Alasan itu pulalah yang memicu timbulnya kapitalisme politik, dimana “sumbangan” lebih penting dari pada “visi dan misi” calon elit kita. It’s all about money. Mari kita berimajinasi sejenak, bagaimana nasip bangsa kita 10tahun kedepan?
Indonesia harus bangkit, mau tidak mau, kita harus berubah. Tidak perlu kambing hitam dalam hal ini, kita hanya perlu merubah cara pandang kita sebagai masyarakat Indonesia. 1 hal yang tidak bisa dibeli oleh “money”, itu adalah hati. Hati kita tidak akan bisa berbohong bahkan untuk “uang” sekalipun. Mari kita mengubah Indonesia dari Hati. Mari kita berbicara demokrasi dan politik, jangan lelah ! Jangan lelah untuk memperbaiki nasip bangsa kita. Kalau kita lelah untuk berbicara politik, terus siapa lagi? Siapa lagi yang akan memikirkan nasip bangsa ini kecuali kita sendiri?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Burjo! |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.